Ugi yang Menjadi Bugis

Ugi bukanlah kata yang memiliki makna. Tapi merupakan kependekan dari La Satumpugi, nama seorang raja yang pada masanya menguasai sebagian besar wilayah Sulawesi Selatan.

Oleh rakyatnya, Ugi dikenal sebagai raja yang baik dan disegani. Rakyatnya pun menyebut diri mereka to Ugi yang berarti orang Ugi atau pengikut Ugi.

Dalam perjalanannya, seiring gerakan ke-Indonesiaan, Ugi dibahasa-Indonesiakan menjadi Bugis dan diidentifikasikan menjadi salah satu suku resmi dalam lingkup Negara Kesatuan Republik Indonesia. Maka menjadi terkenallah suku Bugis di Indonesia; bahkan di luar negeri.

Wilayah

Wilayah suku Bugis mencakup hampir semua sektor utara provinsi Sulawesi Selatan: Barru, Pare-pare, Sidrap, Pinrang, Soppeng, Bone, Wajo, dan Palopo. Wilayah-wilayah tersebut berkembang melalui tiga kerajaan besar suku Bugis: Bone, Soppeng, dan Wajo, ditambah beberapa kerajaan kecil.

Pada saat Kerajaan Gowa pimpinan Sultan Hasanuddin menyerang kerajaan-kerajaan Bugis tersebut, banyak orang Bugis yang memilih merantau guna menyelamatkan diri. Maka bisa didapati banyaknya kampung Bugis di wilayah lain di luar Sulawesi Selatan, seperti di Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Gorontalo, Kalimantan; bahkan di negara tetangga: Malaysia, Thailand, dan Filipina.

Agama

Agama awal suku Bugis adalah animisme yang diwariskan secara turun-temurun. Namun sejak ulama asal Sumatera bernama Datuk Di Tiro menyebarkan ajaran Islam, animisme perlahan ditinggalkan. Islam pun menjadi agama mayoritas suku Bugis hingga kini. Pun begitu, masih banyak orang-orang Bugis yang mempertahankan animisme mereka, seperti to Lotang di Sidrap, to Balo di Barru, dan lainnya. Bahkan ketika Pemerintah Republik Indonesia menawarkan lima agama resmi untuk dianut, mereka lebih memilih Hindu atau Budha yang mereka anggap menyerupai animisme mereka. Maka jangan heran kalau ada orang Bugis yang menunjukkan KTP-nya bertuliskan agama Budha atau Hindu. Itu berarti mereka penganut animisme.

Adat

Suku Bugis memiliki ragam adat khas berbentuk ritual: pernikahan, masuk rumah baru, panen, pindah rumah, dan lainnya.

Adat-adat tersebut kurang-lebih telah tercampur dengan ajaran Islam. Selain adat berupa ritual, suku Bugis juga memiliki adat berupa petuah hidup yang menjadi pegangan orang-orang Bugis dalam menjalani hidup dan menjaga kebersamaan di antara mereka. Petuah hidup itu seperti sipakatau sipakalebbi (memanusiakan manusia dan saling menghargai), pada idi pada elo (sesama kita, sama kemauan), dan lainnya.

Bahasa

Suku Bugis memiliki bahasa sendiri yang tidak ada serupanya dengan bahasa lain di dunia, meskipun jika dirunut kata-perkata, ada kata dalam bahasa Bugis yang sama dengan bahasa lain. Misalnya kadera yang berarti kursi dalam bahasa Bugis, begitu pun bahasa Makassar; bahkan bahasa Filipina juga menyebut kursi sebagai kadera.

Logat bahasa Bugis juga berbeda di setiap wilayah. Ada yang kasar dan ada yang halus. Sidrap dan Bone terkenal dengan bahasa Bugis kasar dan Soppeng terkenal dengan bahasa Bugis halus.

Selain itu, bahasa Bugis juga memiliki huruf tersendiri yang sama dengan bahasa Makassar, yaitu huruf lontara’. Huruf lontara’ bisa didapati dalam naskah-naskah kuno kerajaan dan karya sastra, seperti La Galigo. Huruf lontara’ kini juga disertakan pada papan nama jalanan di kota Makassar.

Adat, petuah hidup, bahasa, dan huruf sendiri yang dimiliki oleh suku Bugis itu menandakan satu hal bahwa suku Bugis pada masanya memiliki peradaban yang luar biasa hebat. Nenek moyang suku Bugis adalah orang-orang pintar yang mampu menciptakan ilmu pengetahuan dan mewariskannya dengan baik. (Fachrul Khairuddin)


Tinggalkan komentar